Jumat, 28 Juni 2013

Dan Allah

Bismillahirrahmanirrahim

Saya dapati Allah tak pernah bosan mengampuni khilaf dan kesalahan diri di kala saya memintanya. Allah tak pernah mengeluh atas dosa-dosa yang setiap detiknya saya perbuat. Saya mengenal Allah sebagai Dzat yang ridha mengampuni walau tanpa saya pinta. Ridha memberi walau sesungguhnya saya benar-benar tak layak mendapatkannya. Apalagi Ia yang maha pemurah, tak pernah sungkan membelai lembut diri saya yang berlumur dosa.

Allah Akbar.

Tanpa saya sebut nama-Nya, seolah Ia yang maha penyayang senantiasa berada di dekat, di sini, di sisi. Bahkan meminta bantuan orang lain sulit, sungkan perlu bayaran. Saya dapati Allah, Rabbil 'aalamin dengan ikhlas menemani saya pada setiap langkah ke manapun saya pergi, baik dalam diam, secara terang-terangan, baik dengan keadaan sholih ataupun tidak, Ia temani. Tanpa pernah menuntut untuk ini ataupun itu. Padahal sudah jelas apa yang Ia mau, padahal sudah jelas apa yang Ia perintahkan. Takku lakukan? Tak pernah Ia menegurku barang "tiupan". Tak pernah meleset pujian Ar-Rahman, Ar-Rahim-Nya. Allah selalu menyayangi hamba-hamba-Nya.

Saat dalam dekap ibu, terasa begitu amat menenangkan, seolah saya tak ingin Ibu pergi, seolah saya tak ingin wanginya hilang dari muka bumi ini, tercatat sebuah pertanyaan besar dalam fikiran, "Takjubmu atas kasih sayang sang ibunda sudah begini, bagaimana dengan kasih sayang Allah?" sampai saya kembali pada tanah pun, tak selesailah segala nikmat-Nya apabila dirincikan. Wajar bila diri terheran, mengapa bisa Allah begitu penyayang? Mengapa bisa Allah begitu adil? Mengapa bisa Allah begitu kaya? Karena benar-benar tak tergapai dengan logika manusia seperti saya, mengapa bisa Allah begini dan begitu. Ia sempurna dengan segala keagungan-Nya, kebesaran-Nya, kehebatan-Nya.


Allah, aku takjub!

Sungguh, Allah lebih bahagia dengan taubat hamba-Nya tatkala ia bertaubat kepada-Nya, daripada kebahagiaan salah seorang dari kalian yang sedang bersama tunggangannya di padang pasir lalu tiba-tiba tunggangannya itu hilang, padahal makanan dan minumannya berada di tunggangannya itu. ia putus asa dengan tunggangannya itu lalu mendatangi sebuah pohon, dan kemudian berbaring di bawah pohon tersebut. Saat itulah tiba-tiba tunggangannya muncul kembali. Lengkap dengan perbekalannya maka ia pun segera memegang tali  kekang tunggangannya itu. lalu ia berkata karena sangat gembiranya, "Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu" ia salah berucap karena sangat bahagia (HR. Muslim)
Selasa, 25 Juni 2013

Bulan

Bismillahirrahmanirrahim,

Malam, dua hari yang lalu.
Duhai bulan, di manakah engkau gerangan? Banyak jiwa yang membicarakanmu, sudikah kiranya kupandang sebentar saja?

Tak perlu sulit kucari, ianya tepat berada pada sisi langit yang amat benderang itu. Bismillahi masya Allah! Pada renungannya hatiku dibuat takjub bukan main. Allah begitu hebat menciptakan bulan yang menjadi penerang gulitanya malam, tak hanya itu bulan benar-benar menjadi pembimbing para musafir menelusuri malam penunjuk arah tempat tujuan. Engkau ciptakan bulan dengan amat sempurna, Allah.
Bulan, tak hanya malam itu kau membuatku terpaku atas segala tanda-Nya. Malulah rasanya dihadapan Allah, yakin bahwa Allah maha besar, maha pencipta, maha segala-galanya! Tapi jiwa diri tak mampu mengecap makna kebesaran-Nya. Astaghfirullah. Ini Allah, tanda-Mu dari bulan-Mu yang padahal tak lebih sempurna dari ciptaan-Mu yang ini, diriku sendiri. pada dua pagi yang sudah terlewati, rasanya kau tak hentinya menemani perenunganku, bulan. Dua pagi sudah, kau sudi temani saya menghirup udara segar dari tetumbuhan yang ada, melatih kaki untuk senantiasa kuat berjalan, memanjakan diri dengan memberikan haknya yang tak diragukan, olahraga. Ya, dua kali juga saya memandangmu dengan penuh senyuman. Rasanya kau menyapa, "Haai" kemudian saya mendongak, "eh?" wah ternyata dirimu, "Haloo" dengan senyum merekah mewah. Sudah dua kali begitu, bulan. Indah bukan main. Namun pada senyum yang kedua, kuiringi pilu yang tiba-tiba menerjang, maaf. Saat kupandang dirimu sudah tak sesempurna kemarin malam, terlalu naïf juga saya bilang tak sesempurna, sebabnya? Memang begitu keadaanmu, yang pada suatu masa kau tampil dengan begitu mempesona, pada masa lain kau tampil dengan separuh tubuhmu yang bahkan lebih indah dari senyuman kami, dan pada masa yang lain, kau harus tampil seperti sebagian tubuhmu hilang, namun hebatnya seorang engkau, bulan kau tetap maksimal memfungsikan dirimu, tetap menjadi teman malam mereka yang penat dengan kehidupan di dalam, tetap menjadi cahaya bagi para musafir, ya kau memang begitu, selalu taat tak pernah berbalik arah, saya yang  jauh amat sangat lebih sempurna darimu mengapa tak mampu untuk senantiasa taat ya? Jawabnya mungkin ada pada akhlak setiap jiwa, yang dipilihnya berdasarkan nafsu yang masing-masing manjakan, nafsu yang solih atau sebaliknya?


Bulan, terimakasih untuk muhasabahnya pada tiga hari terakhir ini, kian cinta pada Rabb kita semata, Allah.
Senin, 17 Juni 2013

Dalam Hidup


Bismillahirrahmanirrahim
Ada masanya seharian penuh mengabdi pada Allah dengan cara setiap jiwa, masing-masing. Entah bekerja siang-malam, mengistirahatkan diri pada sujud-sujud dhuha, dzuhur, ashar bahkan maghrib dan isya. Ada masanya setengah hari saja sang abdi sibuk pada dunianya, entah separuhnya lagi betul-betul ia persembahkan untuk kehidupan yang akan datang. Ada yang hidup dengan jiwa yang jarang bergelora, hati yang datar-datar saja, begini hidupnya, ya sudah begitu saja. Ada juga yang hidup dengan hati yang senantiasa gelisah, jiwanya tak damai dengan dirinya sendiri, dirinya tak bisa jauh dari amalan penghuni surga, walau berat walau banyak tergoda. Ada yang hidupnya begitu ringan, tak banyak beban pikirnya, bahkan hampir-hampir ia lupa, apa perbekalan yang harus dipersiapkan untuk kehidupan di akhirat, hampir-hampir ia lupa, kalaulah di masa yang akan datang ia menyesal, sesungguhnya ia menyesali hari ini.

Perlahan, saya mencoba bertanya pada diri saya sendiri, mengapa mengerjakan hal ini? Adakah keuntungannya untuk kehidupan saya, dunia atau akhirat? Atau untung pada keduanya? Adakah saya besarkan nama Allah dalam jiwa pikiran hati dan lisan? Adakah saya dahulukan Allah di atas segalanya? Adakah saya prioritaskan harapan Ayah dan Bunda sebagai pilihan yang utama? Adakah saya akan menyesal di kemudian hari jika saya memilih ini? Adakah ini, berguna untuk keluarga saya? Kerja diri, memajukan da'wah atau malah mengendurkannya dalam nafas kehidupan saya?

Jutaan tanda Allah hadapakan ke wajah kita, meminta kita untuk memperhatikan lebih seksama dan bijaksana. Masih hendakkah berbuat semau kita, semau nafsu jahat kita yang menggerogoti bayang surga dan keridhaan-Nya?

Tidakkah ingin berubah menjadi lebih baik, sebagai bukti bahwa yang termaktub dalam lauhin mahfudzh takdir kita memang menjadi seorang ulama, seorang dai, seorang hafidzh al quran, seorang yang bermanfaat untuk masyarakat, seorang yang menginspirasi orang banyak, seorang yang mewarisi surga dan "ziyadatan ni'mah"nya.

Langkah apa yang diambil? Saat kita bilang, untuk Allah, demi Allah, karena Allah….

Sudah kutahu sejak lama hidup kalian indah, menari atas nama da'wah dalam lelahnya kerja untuk duniamu. Sudah lama kutahu, namamu masyhur di majlis-majlis Allah karena kerjamu, maka, istiqomahlah duhai para peminang surga. berbagi do'a, pada saudaramu ini, yang membutuhkan.