Senin, 18 Agustus 2014

Dalam Lingkaran Cinta


Bismillahirrahmanirrahim

Sudah hampir empat bulan kita bersama, adik-adik sayang….

Saya  memang bukan seseorang yang membimbing mereka dari awal keberadaan mereka di SMAN 2 Cibinong. Ada kawan-kawan hebat saya yang dengan ikhlas menjadi kakak mentor bagi mereka. Namun saat adik-adik tiba di penghujung kelas tiga, maka sunnatullah, akan ada yang dengan kuat bertahan atau berhenti pergi dan tergantikan. Kemudian, adik-adik sayang termasuk ke dalam dua puluh akhwat yang masih bertahan. Terlimpahkan amanah kepada saya seorang. Bismillah, saya siapkan diri untuk berjalan lagi bersama-sama dengan kawan-kawan hebat setelah hampir tiga tahun saya vakum dari dunia alumni rohis dan mentoring karena kesibukan dan amanah yang lain.

Saya memulai hari-hari liqo bersama adik-adik sayang. Jujur, saya bukan kakak yang romantis, yang biasa memanggil adik-adik dengan sebutan “sayangku” atau apalah. Cuma dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengungkapkan betapa…. Mereka amat kusayangi.

Ingat awal-awal perkenalan saya dan adik-adik. Dari dua puluh lebih, hanya tujuh sampai dua belas saja yang menyanggupi untuk hadir dalam halaqah-halaqah yang saya tentukan setiap hari Sabtu. Dari dua belas, terkadang hanya lima yang benar-benar bisa hadir istiqomah. Sebenarnya, saya sedih melihat adik-adik tak menyampaikan izinnya mengapa tidak bisa hadir, lebih memilih menjadi silent reader saat saya membahas sesuatu di grup lingkaran cinta saya dan mereka, lebih memilih diam saat dengan penuh harap saya tanya kondisi mereka, dan banyak lagi.

Namun lagi-lagi, walau saya adalah kakak yang baru mengenal mereka namun rasanya duka mereka, duka saya juga. Bahagia mereka bahagia saya juga.

Semua perasaan ini bermula tentu saat saya niatkan segalanya Lillahi Ta’ala. Menyerahkan segala daya dan upaya pada Allah semata.

Apalah yang membuat anak baru lulus SMA galau berbulan-bulan kalau bukan tentang Perguruan Tinggi. Itupun yang terjadi di dalam lingkaran cinta saya dan mereka. Belum ada kabar apa-apa tentang status mereka apakah diterima atau masih harus berjuang lagi. Sampai akhirnya satu persatu mendapatkan kabar bahagia. Diterima di kampus pujaan masing-masing. Saya bersyukur. Amat bersyukur, terimakasih yaa Rabb, atau senyuman yang Kau ukir di bibir mereka.  Belum berakhir, lebih banyak yang belum diterima.
Saya ikut menanti dengan harap-harap cemas. Entahlah apa pula yang saya cemaskan. Saya hanya khawatir adik-adik bersedih kalau Allah berbeda kehendak dengan mereka. Benar, tak semua jawaban yang Allah beri, sejalan dengan apa yang mereka minta.

Satu persatu japri saya terima. Setiap adik mengungkapkan kesedihannya, ketakutannya, kekhawatirannya. Seakan benar-benar masa depan mereka ditentukan oleh kampus yang kelak dipilihkan Allah untuk mereka.
Da saya mah apa atuh…. Saya hanya bisa mendengarkan, menyemangati dan turut mendoakan. Saya katakan pada mereka, “Baik buruknya takdir seseorang itu bukan ditentukan dari suka atau tidak sukanya apalagi dari nyaman atau tidaknya. Takdir, apabila kau terima hingga ia membawamu ke surga, itulah kebaikannya. Namun apabila kau tak mampu menerimanya, takdir seindah apapun di mata dunia, tak akan mampu menjadi penolongmu di akhirat kelak. Segala apa yang Allah tentukan selalu baik adanya. Sebab Allah maha sempurna tahu kebutuhan hamba-Nya. Coba rasakan itu, kau merancang masa depanmu, saat Allah berkehendak lain, yakinlah bahwa Allah sedang memperbaiki rancanganmu yang rapuh. Husnu dzhann billah…

Entah pada jenis ujian apa dan keberapa, beberapa adik masih belum mendapatkan kampus juga. Kali ini  Saya yang lebih dulu japri satu persatu, lagi-lagi saya hanya bisa sedikit berbagi perasaan dan semangat. Ada juga adik-adik yang memilih untuk tidak saya ganggu sementara, saya terima dengan penuh do’a. semoga Allah menjaga ke-tawakkal-an ia pada-Nya.

Sampai pada suatu hari salah seorang adik mengirim pesan singkat via WA kepada saya, “Kakak doain aku ya kak….” Kira-kira begitu. Entah rasanya berbeda. Seperti ada dorongan yang amat kuat keluar dari kata-kata itu. Pintanya menampar kerjaan saya yang malas-malasan. Pintanya mendobrak hati saya yang tak khusyuk dalam beribadah. Pinta si adik benar-benar menyadarkan saya tentang sesuatu bernama kesungguhan. Mereka meminta doa pada saya, seolah kesuksesan mereka boleh jadi berkat doa dari saya kemudian saya merasa malu teramat dalam kepada Allah.

Saya punya adik-adik yang harus saya semangati, yang harus saya isi, yang harus saya doakan setiap hari, bagaimana Allah mau memperkenankan kalau sayanya saja tidak sungguh-sungguh dalam meningkatkan kualitas diri, tidak khusyu dalam ibadah, tidak sungguh-sungguh dalam mengabdi pada Allah?
Ah, pesan itu benar-benar membuatku malu…. Pesan singkat itu masih membekas hingga sekarang. Tamparannya masih terasa, hati saya masih berdegup mengingatnya, bahkan terkadang membuat saya ketakutan.

Atau pada saat melihat buku mutaba’ah, dalam kolom tahajjud terpampang “tujuh” “lima” “enam” berderet…. Ya Allah, hampir setiap hari mereka tahajjud! Saya malu.

Terimakasih Allah, untuk anugerah yang Engkau berikan pada saya, berupa adik-adik sayang. Kalau mereka sebut saya, saya adalah kakak mentornya, murabbiahnya, sesungguhnya bukan. Justru merekalah yang banyak menegur saya tanpa sadar…. Izinkan kami untuk ikhlas dalam berdakwah ya Allah, kuatkan kami apabila benar, luruskan kami apabilah tersalah.

Adik-adik sayang, dewasa adalah pilihan seperti kalian memilih untuk shalat dhuha pagi ini atau tenggelam dalam kesibukan duniawi. Dewasa adalah pilihan, seperti memilih untuk sibuk memperbaiki diri dan menebar manfaat sekemampuan kita, atau repot dengan aib orang.

Allah, kumpulkan kami dan orang-orang  yang kami cintai di surga-Mu kelak, aamiin.