Bismillahirrahmanirrahim
Sudah hampir empat bulan kita
bersama, adik-adik sayang….
Saya memang bukan seseorang yang membimbing mereka
dari awal keberadaan mereka di SMAN 2 Cibinong. Ada kawan-kawan hebat saya yang
dengan ikhlas menjadi kakak mentor bagi mereka. Namun saat adik-adik tiba di
penghujung kelas tiga, maka sunnatullah, akan ada yang dengan kuat bertahan
atau berhenti pergi dan tergantikan. Kemudian, adik-adik sayang termasuk ke
dalam dua puluh akhwat yang masih bertahan. Terlimpahkan amanah kepada saya
seorang. Bismillah, saya siapkan diri untuk berjalan lagi bersama-sama dengan
kawan-kawan hebat setelah hampir tiga tahun saya vakum dari dunia alumni rohis
dan mentoring karena kesibukan dan amanah yang lain.
Saya memulai hari-hari liqo
bersama adik-adik sayang. Jujur, saya bukan kakak yang romantis, yang biasa
memanggil adik-adik dengan sebutan “sayangku” atau apalah. Cuma dalam tulisan
ini saya mencoba untuk mengungkapkan betapa…. Mereka amat kusayangi.
Ingat awal-awal perkenalan saya
dan adik-adik. Dari dua puluh lebih, hanya tujuh sampai dua belas saja yang
menyanggupi untuk hadir dalam halaqah-halaqah yang saya tentukan setiap hari
Sabtu. Dari dua belas, terkadang hanya lima yang benar-benar bisa hadir
istiqomah. Sebenarnya, saya sedih melihat adik-adik tak menyampaikan izinnya
mengapa tidak bisa hadir, lebih memilih menjadi silent reader saat saya membahas
sesuatu di grup lingkaran cinta saya dan mereka, lebih memilih diam saat dengan
penuh harap saya tanya kondisi mereka, dan banyak lagi.
Namun lagi-lagi, walau saya adalah
kakak yang baru mengenal mereka namun rasanya duka mereka, duka saya juga. Bahagia
mereka bahagia saya juga.
Semua perasaan ini bermula tentu
saat saya niatkan segalanya Lillahi Ta’ala. Menyerahkan segala daya dan upaya
pada Allah semata.
Apalah yang membuat anak baru
lulus SMA galau berbulan-bulan kalau bukan tentang Perguruan Tinggi. Itupun yang
terjadi di dalam lingkaran cinta saya dan mereka. Belum ada kabar apa-apa
tentang status mereka apakah diterima atau masih harus berjuang lagi. Sampai akhirnya
satu persatu mendapatkan kabar bahagia. Diterima di kampus pujaan
masing-masing. Saya bersyukur. Amat bersyukur, terimakasih yaa Rabb, atau
senyuman yang Kau ukir di bibir mereka. Belum
berakhir, lebih banyak yang belum diterima.
Saya ikut menanti dengan
harap-harap cemas. Entahlah apa pula yang saya cemaskan. Saya hanya khawatir adik-adik
bersedih kalau Allah berbeda kehendak dengan mereka. Benar, tak semua jawaban
yang Allah beri, sejalan dengan apa yang mereka minta.
Satu persatu japri saya terima. Setiap
adik mengungkapkan kesedihannya, ketakutannya, kekhawatirannya. Seakan
benar-benar masa depan mereka ditentukan oleh kampus yang kelak dipilihkan
Allah untuk mereka.
Da saya mah apa atuh…. Saya
hanya bisa mendengarkan, menyemangati dan turut mendoakan. Saya katakan pada
mereka, “Baik buruknya takdir seseorang itu bukan ditentukan dari suka atau
tidak sukanya apalagi dari nyaman atau tidaknya. Takdir, apabila kau terima
hingga ia membawamu ke surga, itulah kebaikannya. Namun apabila kau tak mampu
menerimanya, takdir seindah apapun di mata dunia, tak akan mampu menjadi
penolongmu di akhirat kelak. Segala apa yang Allah tentukan selalu baik adanya.
Sebab Allah maha sempurna tahu kebutuhan hamba-Nya. Coba rasakan itu, kau
merancang masa depanmu, saat Allah berkehendak lain, yakinlah bahwa Allah
sedang memperbaiki rancanganmu yang rapuh. Husnu dzhann billah…”
Entah pada jenis ujian apa dan
keberapa, beberapa adik masih belum mendapatkan kampus juga. Kali ini Saya yang lebih dulu japri satu persatu, lagi-lagi
saya hanya bisa sedikit berbagi perasaan dan semangat. Ada juga adik-adik yang
memilih untuk tidak saya ganggu sementara, saya terima dengan penuh do’a.
semoga Allah menjaga ke-tawakkal-an ia pada-Nya.
Sampai pada suatu hari salah
seorang adik mengirim pesan singkat via WA kepada saya, “Kakak doain aku ya kak….”
Kira-kira begitu. Entah rasanya berbeda. Seperti ada dorongan yang amat kuat
keluar dari kata-kata itu. Pintanya menampar kerjaan saya yang malas-malasan. Pintanya
mendobrak hati saya yang tak khusyuk dalam beribadah. Pinta si adik benar-benar
menyadarkan saya tentang sesuatu bernama kesungguhan. Mereka meminta doa pada
saya, seolah kesuksesan mereka boleh jadi berkat doa dari saya kemudian saya merasa
malu teramat dalam kepada Allah.
Saya punya adik-adik yang harus
saya semangati, yang harus saya isi, yang harus saya doakan setiap hari,
bagaimana Allah mau memperkenankan kalau sayanya saja tidak sungguh-sungguh
dalam meningkatkan kualitas diri, tidak khusyu dalam ibadah, tidak
sungguh-sungguh dalam mengabdi pada Allah?
Ah, pesan itu benar-benar
membuatku malu…. Pesan singkat itu masih membekas hingga sekarang. Tamparannya masih
terasa, hati saya masih berdegup mengingatnya, bahkan terkadang membuat saya
ketakutan.
Atau pada saat melihat buku
mutaba’ah, dalam kolom tahajjud terpampang “tujuh” “lima” “enam” berderet…. Ya Allah,
hampir setiap hari mereka tahajjud! Saya malu.
Terimakasih Allah, untuk anugerah
yang Engkau berikan pada saya, berupa adik-adik sayang. Kalau mereka sebut
saya, saya adalah kakak mentornya, murabbiahnya, sesungguhnya bukan. Justru merekalah
yang banyak menegur saya tanpa sadar…. Izinkan kami untuk ikhlas dalam
berdakwah ya Allah, kuatkan kami apabila benar, luruskan kami apabilah
tersalah.
Adik-adik sayang, dewasa adalah
pilihan seperti kalian memilih untuk shalat dhuha pagi ini atau tenggelam dalam
kesibukan duniawi. Dewasa adalah pilihan, seperti memilih untuk sibuk
memperbaiki diri dan menebar manfaat sekemampuan kita, atau repot dengan aib
orang.
Allah, kumpulkan kami dan
orang-orang yang kami cintai di surga-Mu
kelak, aamiin.