Senin, 05 November 2012

Kaidah ke-7, Berbicaralah Kepada Manusia Sesuai Kadar Keilmuannya


Bismillahirrahmanirrahim

Kaidah ke-7 dalam Kaidah-Kaidah Dakwah berbunyi,

Kaidah ke-7
"khatibunnas 'ala qadri 'uquulihim"
berbicaralah kepada manusia, sesuai kadar keilmuannya.
oleh: Isma Muhsonah Sunman

Berdakwah ila Allah itu dilakukan dengan 2 cara, hikmah dan mau'idzhah hasanah(tutur kata yang baik). Dengan hikmah, berarti kita mengetahui cara yang tepat untuk berdakwah sesuai dengan kategori manusianya. Dengan hikmah, berarti dengan bijak, dengan ilmu pengetahuan. Seorang da'I yang bijak tidak menyampaikan seluruh yang dia ketahui, melainkan secukupnya saja sesuai kebutuhan mad'u(objek dakwah)nya. Itu berarti seorang da'I yang bijak mengetahui apa-apa saja yang pantas disampaikan kepada objek dakwahnya.
Ibnu Abbas memahami perkataan Allah dalam Surat Ali Imran Ayat 79, Walakin Kuunuu Rabbaniyyin" bermakna, "Jadilah orang-orang yang bijak, dermawan dan pandai dalam agama." Sedang Al-Bukhari mengatakan, "Arrabbaniy, adalah yang mendidik orang-orang dari ilmu-ilmu yang sederhana kemudian yang rumit".
Dan memulai dengan ilmu-ilmu sederhana dimaksudkan untuk menjaga akal sehingga tidak lepas dari dakwah. Ibnu Hajar berkata, "yang dimaksudkan dengan ilmu-ilmu yang sederhana adalah, yang jelas dari masalah tersebut, dan yang dimaksudkan dengan yang rumit adalah yang lebih mendalam dan detil dari masalah itu."

Ada banyak nash-nash (Alqur'an dan Hadits) yang menguatkan dalil daripada kaidah ke 7 ini;

1.       Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang diterjemahkan dengan bahasanya, (barang siapa yang meninggalkan sebuah upaya/pilihan karena takut orang-orang akan salah paham atasnya, dan bisa jadi orang-orang tersebut akan lebih buruk lagi pemahamannya).
Al-Aswad, "berkata kepada saya Ibnu Az-Zubair, 'Aisyah ra banyak menceritakan rahasia kepadamu, maka apa yang ia ceritakan kepadamu tentang ka'bah?" aku menjawab, "Aisyah ra berkata , Nabi Sallallahu'alayhi wasallam berkata, "Wahai 'Aisyah, kalau kaummu lebih modern dari masanya sendiri, niscaya ka'bah akan dibangun berpintu dua. Pintu masuk, dan pintu keluar"(shahih Al-Bukhari, Fathul Baari 1/224). Berkata Ibnu Hajar rahimahullah, dapat diambil faidah dari hadits tersebut sebuah kaidah "meninggalkan sebuah kemaslahatan untuk tidak jatuh pada keburukan"(fathul baari 1/225)
2.       Berkata Al-bukhari rahimahullah, (Bab pengkhususan suatu ilmu untuk suatu kaum, tanpa menyampaikannya pada yang lain karena khawatir  tidak memahaminya).
Ali ra, berkata, "Berbicaralah kepada manusia sesuai apa yang ia ketahui. Apakah kalian suka Allah dan Rasulullah didustai?(karena kesalahpahaman suatu kaum saat memahami apa yang seorang da'I sampaikan, sebab ketidaktahuan mereka)"(Shahih Al-Bukhari, Fathul Baari 1/225)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Ada orang yang tidak menyukai suatu tema pembicaraan tetapi menyukai tema yang lain."
Hasan ra, dia mengingkari pembicaraan Anas ra kepada Hajjaaj ra tentang kisah 'Uranain, karena Anas menjadikan kisah tersebut sebagai cara untuk berlebih-lebihan dalam kisah pertumpahan darah yang disesuaikan dengan penafsirannya sendiri yang tidak pasti (Fathul Baari 1/225). Kisah 'Urnain adalah kisah tentang kaum 'Urainah yang datang kepada Rasulullah Saw, kemudian menetap di Madinah. Tetapi mereka tidak betah karena tidak cocok dengan cuaca Madinah. Rasulullah Saw pun memberikan mereka satu unta dari unta sedekah, kemudian mereka minum dari susu unta tersebut dan berobat dengan air kencing unta itu. tetapi mereka membunuh para penggembala kemudian mengambil unta-unta mereka. Rasulullah Saw mengejar mereka kemudian memotong tangan dan kaki mereka dan meninggalkan mereka dalam kehausaan.
3.       Imam Muslim dengan sanadnya berkata, dari Ibnu Mas'ud, "janganlah kamu berbicara kepada suatu kaum tentang sesuata yang mana belum sampai akal-akal mereka kepada hal tersebut, kecuali jika terjadi fitnah diantara mereka" (Shahih Muslim 1/11).
4.       Al-Bukhari berkata, "Berkata Rasulullah, "Ya Mu'adz Bin Jabal" kemudian Mu'adz menjawab, "Labbaik, Aku memenuhi panggilanmu ya Rasulullah" berkata (lagi) Rasulullah Saw, "Ya Mu'adz" Mu'adz kembali menjawab "Labbaik Yaa Rasulullah wa sa'daik" hingga 3 kali. Kemudian Rasulullah Saw berkata, "Tidak ada seorang pun yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dari hatinya, kecuali Allah haramkan neraka baginya." Mu'adz berkata, "Wahai Rasulullah, jika aku sampaikan ini kepada orang-orang, apakah mereka akan mendapatkan kabar bahagia?" Kemudian Rasulullah menjawab, "Maka mereka akan bermalas-malasan".  Dan Mu'adz baru menyampaikan hadits ini di penghujung hayatnya (Shahih Al-Bukhari, Fathul Baari 1/226).
Dalam berdakwah, sudah menjadi haknya sebuah kebaikan untuk selalu disampaikan, namun ada pula yang tidak perlu disampaikan demi menghindar dari keburukan.

Sebagai objek dakwah, manusia terbagi menjadi beberapa variasi/kelompok;

Kelompok pertama: manusia awam atau non akademis. Mendakwahi orang-orang awam cukup sulit. Karena kondisi mereka seperti kondisi anak-anak SD yang baru belajar membaca dan menulis. Kesulitan, kompleksitas itu pasti kita jumpai dalam proses dakwah ini. Orang awam tidak bisa diberikan masalah yang pelik, bukti-bukti yang terlalu berat, aturan yang bercabang-cabang. Berdakwah kepada orang-orang awam ini dibutuhkan da'I khusus yang mampu memberikan contoh-contoh yang mudah dipahami dan sesuai dengan keadaan mereka, bukan yang terlalu ilmiah atau di luar jangkauan akal mereka. Dalam mendakwahinya pun harus perlahan-lahan, dengan kelembutan, sampai dakwah benar-benar mampu menyentuh hati mereka dan meninggalkan bekas yang mendalam. Contohnya, seperti mengisahkan kepada mereka kisah-kisah para shaalihin, kabar-kabar tentang auliyaa`illah, dan sejarah tentang para anbiya dan sahabat-sahabatnya. Cara menyampaikannya pun sebaiknya dalam bentuk cerita, bukan analisa.
Kelompok kedua: orang-orang lulusan universitas. Orang-orang variasi ini, mencari kesimpulan analisis. Dalam mendakwahinya para da'I harus menjaga derajatnya keilmuan sang mad'u. Seorang da'I yang bisa mendakwahi orang-orang kelompok pertama (awam) belum tentu bisa mendakwahi  kelompok ini.
Kelompok ketiga: orang-orang  yang memiliki spesialisasi di bidang keilmuan. Karena setiap spesialisasi memiliki istilah-istilah tersendiri, barang siapa yang memahami kondisi ini maka ialah yang lebih mampu untuk mendakwahinya.  Contohnya, seorang da'I yang ditugaskan mendakwahi kalangan pengacara maka ia harus mengetahui aturan-aturan yang benar dan aturan-aturan yang salah. Jika mad'unya adalah para dokter, maka membutuhkan seorang da'I yang mampu menuntun mereka untuk berpikir tentang aspek-aspek kebesaran Allah dan kekuasaran Allah dalam penciptaan manusia begitu juga fungsi-fungsi anggota tubuh.
Jika da'I hanya dibekali oleh ilmu-ilmu syar'I saja, maka kemungkinan untuk ditolaknya lebih besar. Maka wajib bagi para da'I yang diplotkan pada kalangan atau spesialisasi tertentu untuk memperluas tsaqafah(ilmu pengetahuannya), mencari ilmu yang beragam untuk memperkaya ilmu yang dimilikinya. Untuk da'I yang ditugaskan berdakwah pada suatu bidang khusus, wajib baginya untuk mengenal bidang tersebut sebelum terjun berdakwah.

Al haqqu min rabbik, falaa takuunanna minal mumtarin. Allahu A'la wa A'lam Bishshawab…

Nb: ini hanya terjemahan secara bebas, yang saya tulis untuk membantu saya saat harus berdakwah di negeri saya tercinta, Indonesia. Mohon maaf untuk segala khilaf dan kesalahan.


1 comments:

cejedewe says:
at: 17 Februari 2016 pukul 17.14 mengatakan...

sae sanget kang ....