Kamis, 13 Desember 2012

Dan Pemilik Diri


Bismillahirrahmanirrahim

Manusia rapuh, yang tak berdaya dengan penciptaan-Nya yang memang lemah. Dari makhluk yang tersempurna rupa, hingga yang dihempaskan jauh-jauh. Ah, yang terakhir itu bukan untuk kita, jika memang kita orang yang beriman, yang beramal shalih diangkat-Nya derajat kita. Manusia yang beriman, bagaimana pula menjadi manusia rapuh? Pertanyakan pada 'manusia'nya, bukan pada 'iman'nya, tentu.

Manusia, itu aku. Rapuh, lebih lantangku katakan, aku! Ribuan kali kau bisikkan, kau bentakkan padaku dunia ini adalah fana, segala kebahagian di atas bumi ini hanyalah ujian, tidak ada yang abadi di sini, ini hanya tempat untuk banyak berbekal, hati-hati, beramal shalihlah banyak-banyak, atau apapun itu laranganmu terhadapku, bahkan saat Rabbku yang menyanggahiku, tetap saja aku begini. Mengapa? Kalau kau tahu, aku pun ingin mereguk air madu di surga-Nya!

Aku hendak membela diri, di sini! Terserah bagaimana lagi ayat Al-Qur'an berusaha meberangus berontakku aku tak peduli. Aku benci. Kau dengar? Ya aku benci dengan diriku sendiri. walau panas telinga-telinga manusia di atas bumi ini mendengar mimpiku, aku tetap akan mengatakan, bahwa aku ingin menjadi hafidzh qur'an! Jangan kau tanya mana usahaku, jangan kau minta hasilnya, jangan kau tagih bukti yang kini kudapat. Mengapa? Kalau kau tahu, tertatih sudah aku terseok-seok, berdarah-darah menggapai, meraih mendekap quranku.

Aku hendak mengumbar rasa. Sekalipun ibuku, tak aku pedulikan ia melarangku bagaimana juga caranya. Aku mencintai apa yang membuatku bergembira, membuat desir dalam hatiku terasa begitu bersemangat menghempas rasa menembus senyum terindah di dunia. Aku suka apa yang membuatku tenang, nyaman makan, tidur dan beraktivitas. Aku suka, apa-apa yang di luar lelah, beban, berat, sakit dan hal-hal itulah! Alergi.

Dan, ingin kujelaskan di sini. Aku rapuh saat aku sudah di hadapkan dengan hawa nafsuku. Ia begitu terasa lebih super dan berdaya daripada aku, pemiliknya! Ia berhasil membuatku menangis ketakutan saat aku jauh telak terkalahkan, seakan bukan surga tempatku kembali, jauh daripada apa yang kudamba. Percayalah, kukatakan "tidak! Jangan! Sudahi! Sudah! Jauhi!" namun kalimat-kalimat itu seolah menjadi supporter si nafsu untuk terus menerobos benteng imanku. Aku kalah tak terhitung keberapa kalinya, ya aku kalah! Kau tahu bagaimana rasanya? Seolah Allah memandangiku dari Arsy-Nya sambil berkata, "Kutunggu janjimu Isma, untuk setia pada agama ini…. Kutunggu selalu, walau tak terhitung berapa kali Aku mencoba memaklumimu, menerima taubatmu. Selalu. Selalu Kumaafkan, selalu kuampuni. Kau minta waktu, Kuberi, Kuberi kau waktu lebih untuk memperbaiki diri, namun lagi-lagi kau begitu. Dengar Isma, Aku tetap memaafkanmu, menemanimu dalam tangis penyesalanmu, Aku di sini, menjadi satu-satunya penguatmu di kala yang lain tak tahu kondisimu, Aku di sini Isma, bahkan tanpa kau minta". Pada bayangan ini, rasanya aku ingin berlari menumpahkan saja air mata ini pada pangkuan-Nya yang maha pemurah, duhai Allah, maaf.

Kutambahi penjelasanku di sini. Bertahun-tahun aku dalam keiman dan islaman ini, berjalan ke sana kemari menyiarkan apa yang tertulis dalam alqur'an, namun jika sudah berbicara soal nafsu, ah aku kalah dan memilih untuk memulangkan setengah hati, dan membiarkan setengah hatiku yang lain. Antara ingin bertahan dalam penyampaian, atau berhenti menyadari ke-kabura maqtan-an diri. Astaghfirullah. Berulangkali kubisikkan, "Harus berubah!" tak ada juga hasilnya! Ingin sekali aku bunuh ia, ia yang telah berulang kali menyita diriku dalam pertempuran ini, diri dan nafsu. Mungkin kau akan tertawa membaca tulisan ini, karena akan tampak, begitu nyata kebodohanku. Padahal Rasulullah para sahabat saja diciptakan juga sempurna dengan nafsu mereka masing-masing! Kemudian aku salahkan nafsuku atas kegagalanku? Ya Rabbi. Sudah sejak lama kupinta mahkota dan jubah terindah milik-Nya untukku dan kedua orang tuaku, Ia pun sudah banyak memberikanku kesempatan, waktu yang banyak, keahlian, guru, untuk aku menghafalkan Alqur'an, maka pintalah padaku bukti nyata untuk impian itu, niscaya kau tidak akan mendapati. Aku beristighfar, malu bukan main. Tidak hanya pada Allah saja, namun juga Ayah dan Bunda, yang kuyakini, tak ada yang mampu membuat mereka tersenyum super bahagia kecuali jubah terindah yang kelak dipakaikan kepada mereka berdua atas usahaku menjaga kalam-Nya. Allah, tahan Allah…. tahan! Tatihku, rintangan yang tempo hari kulalui itu, baru usaha mematikan nafsuku yang menghalang-halangi tapak langkahku. Aku tak sabar, aku terlalu lekas berkata, lelah dan butuh istirahat. Al-Qur'an Isma, sadar! Bukan barang sembarang, tentu penjaganya juga tidak sembarang! Aku masih memiliki mimpi itu, masih memiliki waktu dan tenaga untuk merealisasikannya. Maukah, menungguku? Hh, tak perluku minta, Allah pasti mau menungguku! Bahkan mempermudah usahaku menggapainya, mendekatkan aku dengannya! Duhai Allah yang maha pengasih dan penyayang, sayangi kami selalu.

Terakhir, maaf…. Kalau masih boleh kujelaskan di sini. Ya aku ingin itu semua, kegembiraan, kenyamanan, kesenenangan, ketenangan, tanpa sakit, tanpa air mata, tanpa beban berat, keras, tanpa perih yang berkepanjangan. Ingin, ingin. Dan semoga hanya ingin yang tidak bermakna apa-apa saja. Karena surga Allah, kutahu bagaimana cara membelinya. Benar-benar jauh dari inginku itu. Allah minta dengan iman kita, dengan amal shalih, jihad, dengan zuhud, apalagi dengan sabar dan taqwa yang kesemuanya terdapat sakit, perih, air mata, beban, usaha keras di dalamnya. Aku pun percaya, dalam setiap tangis, ada Allah yang menghapusnya, pada setiap lelah, ada Allah yang mengusap keringatnya, pada setiap amarah yang tak mampu diredam, ada Allah yang dengan sabar tersenyum dengan diri, pada setiap keperihan dan keputusasaan, ada Allah yang menguatkan, dalam setiap beban berat, ada Allah yang memudahkan, dalam setiap usaha keras Allah yang pasti dan akan selalu membayarnya, dalam setiap kesendirian, tidak tidak akan pernah sendiri karena Allah selalu di sisi.

Allahu a'la wa a'lam bishshawab.

0 comments: