Sabtu, 15 Februari 2014

Kepiluan Waktu Senja


Bismillahirrahmanirrahim

Maghrib di hari sabtu kemarin. Ada kisah yang membuatku tergugu saat shalat berjamaah dengan Ayah. Tentulah tak hendak saya menangis, namun begitu saja air mata menetes perlahan tak lama disambut oleh isakannya. Sebentar saja, hanya beberapa detik kemudian saya kembali menguasai diri. Lepas ucap salam kanan dan kiri, saya langsung berdiri bergegas ke teras luar. Duduk di kursi kayu bersama keheningan maghrib saya tenangkan diri. Terkadang ucapan seseorang indah bagi dirinya tapi boleh jadi pedih bagi pendengarnya. Kira-kira itulah yang terjadi padaku.

Saya  pikirkan cara untuk menghilangkan kesedihan, posisinya di rumah di waktu libur akhir pecan, benar-benar bukan masanya untuk bersedih. Sedemikian saya makan, menyetel tv seadanya mengobrol sekenanya, membantu seperlunya, ternyata bisa juga terbaca oleh ibuku. Ditanyanya ini dan itu, saya tetap bungkam dan mengatakan semua baik-baik saja. Bahkan sempat ibu saya menerka kesedihan terjadi karena kabar yang saya dapatkan tentang “si dia” saya tertawa sedikit sambil berucap, “sebenarnya asal dia baik aku ga masalah, tapi kalau Bunda ga mau, ya nggak. I’m ok Mom, really!” Ibuku sedikit mengancam dengan wajah sangar kalau-kalau saya  tidak mau bercerita padanya, mengingat hampir setiap hal yang terjadi dalam hidup saya, ibu saya tahu itu! Saya lawan rasa malu, untuk menceritakan segalanya, saya pikir saya sedang mencari keridhaan-Nya, maka saya butuh masukan dari kedua orang tua saya tentunya.

Melihat kekhawatiran ibunda tercinta tentu menambah kepiluan malam itu. Subuhnya saya terbangun dengan struktur kelopak mata yang lebih lebar. Ibu saya menegur untuk yang kedua kalinya, “Ga nangis apanyaa itu liat mata kamu” yang tertuduh hanya cengengesan. Alhamdulillah, bunda tidak terlarut dalam kekhawatiran mengingat pagi itu ada acara di Ummul Quro juga ada undangan di Jakarta. Saya pun sama, harus kembali ke Jakarta. Kami sibuk mempersiapkan diri masing-masing.

Saya sudah siap dan hendak berangkat, saat bersalaman dengan Ayah beliau berkata, “Ayah sayang Isma” deg….. tiba-tiba seperti ada dobrakan dari hati ke mataku ada yang ingin terjatuh namun aku tahan kuat-kuat. Ayah masuk angin pagi tadi, jadi saya pijat sebentar, bukan karena saya jago memijat hanya saja kasih sayang dan doa yang terhatur untuk menyembuhkan Ayah, syafaakallah Ayah!

Saat berpamitan pada Bunda pun sama, saya berpamitan di Ummul Quro, beliau berkata, “masih galau yaaa?” saya hanya tertawa.

Kembali ke Jakarta. Harapan saya sekembalinya ke kosan, sudah tak ada lagi kesedihan yang mendalam. Sebenarnya sudah sejak semalam saya menenangkan diri saya, toh saya bukan orang yang baru sehari dua hari mengenal Allah seharusnya saya memang jauh jauh jauh lebih dewasa dalam menyikapi segala hal. Alhamdulillah, malam itu Allah ilhamkan, Allah kuatkan saya untuk menguatkan hati saya.

“manusia hanya mampu berencana, Allah yang pilihkan. Manusia hanya mampu berusaha, Allah yang memutuskan.” Dipilihkan oleh Allah pada setiap sisi kehidupan? Ah, sungguh saya sangat ridha.

Kemudian saya belajar mengikhlaskan. Allah, Irham dha’fana..

0 comments: