Selasa, 04 September 2012

Perjalanan Sang Penutup Kepala


Bismillahirrahmanirrahim,

Terlahir dari rahim seorang muslimah adalah suatu anugerah yang tak ternilai harganya. Dibesarkan oleh seorang muslim yang taat dan paham agama adalah hadiah terindah dari Allah yang pernah saya dapatkan, karena bermula dari mereka, saya mengenal Allah, mengenal kekasih-Nya yang menyiarkan agama-Nya yang begitu membanggakan. Ya, saya bangga menjadi seorang muslimah.
Tak banyak mengingat memang, kalau bukan karena ada dokumentasi foto saya dulu, bahwa saya sudah berjilbab dari sejak kecil. Ya, Ayah dan Bunda yang mengenakannya pada saya.  Lupa, bagaimana rasanya berkurudung pertama kalinya.

Saya ingat tahun 1999 saat saya duduk di bangku kelas 1 SD, Ummul Quro Bogor. Begitu bahagia rasanya, mengenakan seragam baru, rok merah itu, rasanya seperti jadi orang dewasa! Pulang sekolah, saya main keluar rumah, dengan kerudung, baju main tangan pendek, dan rok  merah seragam yang tidak ingin saya ganti. Untuk menunjukkan pada dunia (orang di kampung maksudnya) bahwa saya sudah SD!
Pada masa-masa ini jugalah, saya merasa belum mau mengenakan kerudung seterusnya. Saya hanya mau saat berangkat ke sekolah saja, atau saat pergi bersama keluarga. Kalau main ke luar rumah bersama kawan yang lain saya inginnya tanpa kerudung. "Ahmad, Ahmad mau kemana itu?" begitulah Ayah menggoda saya, saat melihat saya mengendap-endap hendak pergi bermain tanpa kerudung. "Ah Ayaaah aku Isma.." protes saya sambil menekuk alis dalam-dalam. "Oooh, Isma! Atuh Ism amah kalau main keluar sekarang pakai kerudung…." Balas Ayah menggoda saya. Akhirnya mau tidak mau karena saya tidak mau dipanggil "Ahmad" atau "Adam" alias disamakan dengan "Laki-laki" karena saya tidak mengenakan kerudung, akhirnya saya kembali ke dalam, menyambar kerudung dan langsung berlari ke TKP untuk bermain bersama yang lain.
Tiba di kelas 6 SD. Mulai asik dengan kerudungnya sendiri. mulai mengerti model yang cantik dan cocok untuk saya. Sampai sempat diakhir kelas 6 SD, saya pernah mengenakan kerudung segi empat atau peniti bersama teman-teman saya. Wow, rasanya semakin dewasa! sampai saya sadari butuh waktu 30 menit untuk mengenakannya!

Beda saya, beda kakak saya. Saya yang merasa dewasa dengan kerudung segi empat, kakak saya menyatakan ke-anti-annya terhadap jenis kerudung itu. pasalnya, sering membuat ia terlambat ke sekolah walau jarak sekolah dan rumah hanya sebatas satu kali jungkir balik saja. Awalnya di SMPIT Ummul Quro (tempat kakak saya belajar) tidak diwajibkan mengenakan kerudung segi empat, tapi mulai dari angkatan setelah kakak saya, kemudian saya, akhirnya diwajibkan. Dari sanalah bermula kebiasaan saya mengenakan kerudung segi empat.
Menyediakan waktu lebih banyak untuk bersiap? Pasti! Terkadang setengah jam lebih saya harus berdiri mematut diri di depan kaca. Sulit sekali rapinya kerudung segi empat. Cara saya mengenakan kerudung, tidak ada manis-manisnya sama sekali. Barulah saya paham, kenapa dahulu kakak saya memproklamasikan ke-anti-annya terhadap jenis kerudung itu. namun saya sadari, memang semuanya itu harus bertahap. Sampai akhirnya, saya mulai bersahabat dengan kerudung-kerudung itu, mereka juga sudah tidak terlalu kaku lagi, sebab hampir 1 minggu 2 kali mereka berhadapan dengan mesin cuci. Mengoleksi pin-pin lucu dan keren-keren, sebagai aksi solidaritas juga terhadap Palestina misalnya, membeli pin-pin bergambar "Save Palestine" dan lain sebagainya.

Tanpa saya sadari, kerudung yang awalnya hanya menutupi dada itu akhirnya semakin lebar. Memang tanpa maksud, bahkan yang menjadi motivasinya saja kawan saya yang ketika itu bilang "Aku minimal kerudung di pesantren satu jengkal dari lengan tangan atas." Dan melihat guru-guru saya di SMPIT Ummul Quro pun terlihat begitu anggun dengan kerudung-kerudung lebarnya. Begitupun rok. Dulu saya enggan mengenakan rok, saya pikir akan terlihat lebih gagah kalau saya mengenakan celana. Toh bajunya panjang selutut. Namun seiring berkembangnya jalan pikir saya, saya paham, akhwat itu anggun, namun tangguh. Dengan rok sang akhwat akan terlihat lebih anggun, dan mendobelnya dengan celana agar lebih aman. Itu terjadi saat saya duduk di bangku kelas 2 SMP (kalau tidak salah ingat).

Takdirpun menggiring saya ke tempat yang amat berbeda, sangat heterogen, SMA Negeri 2 Cibinong. Kalau bukan guru SMP saya menyemangati saya dengan iming-iming pahala di 'ladang pahala yang luas' mungkin status saya kini sebagai tamatan pesantren. Menangis pun pernah, saking saya tidak kuat menimba ilmu di sekolah umum. Satu, karena mereka semua cerdas dan rajin-rajin belajar, akhirnya orang yang mengandalkan mood seperti saya ini terlempar, dua, karena lingkungan yang amat berbeda, sekalipun, percayalah SMA Negeri 2 Cibinong, mengadakan tes tahsin untuk ujian masuknya, mewajibkan siswinya berkerudung di area sekolah, ada mentoring setiap hari sabtu, ROHIS menjadi ekstrakulikuler wajib bagi siswanya yang muslim, tutor sebaya setiap Jum'at selalu rutin dilakukan, diabsen, dan masih banyak lagi namun entah mengapa saya merasa bukan sekolah itu tempat saya, bukan! Tapi pada akhirnya, saya menjadi salah satu alumni SMAN 2 Cibinong, dan saya bangga dengan itu, wajar! Saya sadari, dulu saat saya merasa tidak kerasan sekolah di sana, itu semua lebih kepada karena saya ingin juga seperti teman-teman saya yang lain di pesantren, menghafal Al-qur'an belajar ilmu Islam dan lain sebagainya. Ini murni kesalahan saya, yang tidak bisa membagi waktu, memanfaatkannya dan terlalu banyak berpikir mau ini dan itu, sedang tindak saya hanya sedikit, sampai akhirnya menyesal waktu berlalu begitu saja, tanpa kemajuan yang baik dari hafalan, dan pemahaman Islam saya. Astaghfirullah.

Di sekolah itu juga, saya justru belajar makna beriman, dengan mempertahakan apa yang benar menurut agama saya, sekalipun itu harus betentangan dengan yang lain, makna berihsan, dengan tetap menjaga diri dari apa-apa yang Allah larang, sekalipun harus sendirian memerankannya, yakin, Allah melihat saya! Makna berislam, seperti menghirup udara yang amat segar, duhai Allah, indah sekali nikmat-Mu ini, nikmat Islam, yang belum tentu dirasakan oleh kawan-kawan yang lain, makna berhijab, yang justru saya dapatkan dari sahabat-sahabat saya yang baru mendapatkan hidayah, bagaimana berhijab itu menjadi hubungan, antara kita, sesama dan Allah.
Kepada yang telah menguatkan langkah kami, membantu kami dalam belajar agama Islam, Guru kami bersama, Pembina ROHIS di tahun saya, yang kami hormati dan kami banggakan, Abi... dan Guru-guru yang lain, atas doa, semangat dan dukungannya :) Jazaakumullah khairan katsir....

Pemenang hadiah Nobel perdamaian "Tawakkul Karman," 'The mother of Yemen's revolution,' ketika ditanya tentang hijabnya oleh wartawan dan bagaimana hal itu tak sesuai dengan level pendidikan dan intelegensinya, menjawab:

"Manusia pada awalnya hampir telanjang, dan ketika akalnya bertambah ia pun mulai memakai pakaian. Saya sekarang dan apa yang saya pakai ini mewakili level tertinggi dari pemikiran dan peradaban yang telah dicapai umat manusia, dan hal ini bukan kemunduran. Membuka pakaian itulah yang merupakan kemunduran ke jaman kuno."



0 comments: